Kebijakan Penguatan Pendidikan Berkarakter

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) merupakan kebijakan pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengimplementasikan Nawacita Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan PPK ini terintegrasi dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yaitu perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi lebih baik. Nilai-nilai utama PPK adalah religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, integritas. Nilai-nilai ini  ingin  ditanamkan  dan dipraktikkan melalui sistem pendidikan nasional agar diketahui, dipahami, dan diterapkan di seluruh sendi kehidupan di sekolah dan di masyarakat. PPK lahir karena kesadaran akan tantangan ke depan yang semakin kompleks dan tidak pasti, namun sekaligus melihat ada banyak harapan bagi masa depan bangsa. Hal ini menuntut lembaga pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik secara keilmuan dan kepribadian, berupa individu-individu yang kokoh dalam nilai-nilai moral, spiritual dan keilmuan. Memahami latar belakang, urgensi, dan konsep dasar PPK menjadi sangat penting bagi kepala sekolah agar dapat menerapkannya sesuai dengan konteks pendidikan di daerah masing-masing.

Tujuan PPK

  1. Membangun dan membekali Peserta Didik sebagai generasi emas Indonesia Tahun 2045 guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan.
  2. Mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia;
  3. Merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi ekosistem pendidikan.
Share:

Simposium Pendidikan Kesetaraan

Dalam rangka meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia perlu dilakukan revitalisasi pendidikan kesetaraan. SNP untuk pendidikan kesetaraan yang ada sekarang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan tantangan global sehingga perlu diganti dan dikembangkan standar baru. Melalui revitalisasi ini, diharapkan pendidikan kesetaraan semakin berkualitas dan bermartabat. Pendidikan kesetaraan tidak lagi dipandang sebagai pendidikan alternatif, tetapi menjadi pilihan bagi warga belajar.

Demikian catatan penting dari simposium pendidikan kesetaraan yang diselenggarakan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Deli Serdang Medan pada tanggal 6-8 September 2018 dengan tema Pendidikan Kesetaraan Berkualitas dan Bermartabat. Acara dibuka secara resmi oleh Abdul Kahar Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan pada hari Kamis malam, 6 September 2018. Acara ini diikuti oleh para praktisi, akademisi, dan pejabat di dinas pendidikan kabupaten/kota yang menangani bidang pendidikan kesetaraan.

Dalam sambutannya, Abdul Kahar menjelaskan bahwa simposium pendidikan kesetaraan ini merupakan rangkaian acara peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) yang dibuka secara resmi oleh Muhadjir Effendy Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada hari Sabtu, 8 September 2018.

Menurut Kahar, dipilihnya Kabupaten Deli Serdang Medan sebagai tempat pelaksanaa HAI karena pemerintah daerah ini memberikan komitmen yang sangat tinggi dalam meningkatkan pendidikan keaksaraan dan kesetaraan melalui kebijakan penganggaran dan pelaksanaan program.

“Bupati Deli Serdang tidak hanya memberikan dukungan finansial tetapi juga memberikan dukungan program kerja yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan keaksaraan dan kesetaraan”, ucap Kahar dalam sambutannya mewakili Dirjen PAUD dan Dikmas.

Lebih lanjut Abdul Kahar mengatakan bahwa pendidikan kesetaraan saat ini sudah menjadi pilihan dan tidak lagi menjadi alternatif bagi peserta didik. Hal ini karena pendidikan kesetaraan memasuki paradigma baru, yaitu tidak lagi dianggap terbelakang karena faktor ekonomi dan akademik.

“Pendidikan kesetaraan bukan lagi sebagai pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal, tetapi sudah menjadi pilihan. Peserta didik pada pendidikan kesetaraan tidak hanya mereka yang putus sekolah saja tetapi juga ada pendatang baru yang dari awal ingin belajar di PKBM”, ucap Kahar seraya menambahkan pendatang baru biasanya mereka yang berasal dari praktisi kesenian, artis, atlit, dan pegiat kebudayaan.

Seiring dengan perubahan paradigma tersebut, tambah Kahar, permintaan dari masyarakat untuk membuka PKBM semakin meningkat, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Kehadiran PKBM ini diharapkan akan memberikan solusi, memberi akses, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Supriyono Ketua BAN PAUD PNF salah satu nara sumber simposium menyampaikan ada enam aspek revitalisasi pendidikan kesetaraan. Keenam aspek tersebut adalah tata kelola peserta didik, tutor, penyelenggara (PKBM/SKB), kurikulum, pembelajaran yang fleksibel, dan kendali mutu.  

“Kita perlu memetakan akar permasalahan pada enam aspek revitalisasi ini, supaya solusi yang kita tawarkan tepat sasaran, efektif, dan efisien”, ucap Guru Besar Universitas Negeri Malang itu seraya menambahkan di masa depan peran SKB dan PKBM menjadi agensi dan fasilitator proses belajar mengajar yang kapabel, pusat sumber belajar, resource linkers, dan solution givers. 

Sementara itu Bambang Suryadi Ketua BSNP mengatakan ada dua pendekatan dalam melakukan reformasi pendidikan, yaitu reformasi melalui standarisasi (standard driven reform) dan reformasi malalui perubahan kurikulum (curriculum driven reform). BSNP melakukan reformasi melalui standarisasi dengan mengembangkan delapan standar nasional pendidikan yang mengakomodasi karakteristik penyelenggaraan pendidikan kesetaraan.

“Pendidikan kesetaraan diselenggarakan berdasarkan prinsip kontekstual, fleksibilitas, fungsional, lintas jalur (multi entry multi exit), dan pembelajaran berbasis modul”, ucap Bambang seraya menambahkan BSNP telah menyampaikan rancangan Standar Nasional Pendidikan Kesetaraan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 4 September 2018 untuk ditetapkan menjadi Peraturan Menteri.

Standar nasional pendidikan untuk pendidikan kesetaraan, tambah Bambang memiliki implikasi terhadap pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran, serta perangkat akreditasi. Oleh karena itu, simposium pendidikan kesetaraan ini merupakan langkah awal untuk menyamakan persepsi dan pemahaman para pemangku kepentingan di bidang pendidikan kesetaraan.
Share:

Penyelarasan Standar Nasional Pendidikan dan Sistem Akreditasi

Penyelarasan antara Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan sistem akreditasi mutlak dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran yang berkualitas di satuan pendidikan. Penyelarasan ini merupakan amanah undang-undang sistem pendidikan nasional. Selain itu juga merupakan bentuk respon terhadap tren dunia internasional sebagaimana dilaporan Bank Dunia yang menyatakan bahwa di berbagai negara belum terjadi pembelajaran di sekolah. Penyelarasan dimulai dari membangun kesadaran tentang pentingnya standar, menyamakan persepsi terhadap makna dan cara mengimplementasikan standar serta mengukur pencapaian standar melalui akreditasi.

Demikian rumusan kesepakatan antara BSNP, BAN S/M, dan BAN PAUD dan PNF di ruang rapat BSNP pada hari Selasa, 25 September 2018. Turut hadir dalam acara ini seluruh anggota BSNP, Dadang Sudiyarto Sekretaris Balitbang, Maskuri dan Itje Chodijah sebagai Sekretaris dan Anggota BAN S/M, Irma Yuliantina dan Nugaan Yulia Wardhani Siregar sebagai Sekretaris dan anggota BAN PAUD dan PNF.

Menurut Bambang Suryadi Ketua BSNP permasalahan pendidikan nasional saat ini adalah kenyataan bahwa pembelajaran yang berkualitas belum terjadi di satuan pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal. Akibatnya, lulusan satuan pendidikan tidak memiliki kompetensi sebagaimana dirumuskan dalam SNP.

“Keprihatinan kita saat ini juga menjadi perhatian Bank Dunia yang menyatakan bahwa di berbagai negara belum terjadi pembelajaran di sekolah. Inilah yang dalam istilah Bank Dunia disebut dengan schooling without learning”, ucap Bambang menyitir laporan Bank Dunia tahun 2018.

Sebagai solusi, tambah Bambang, pemahaman terhadap SNP perlu ditingkatkan, sehingga SNP yang sudah dikembangkan dapat diimplementasikan dan diukur pencapaiannya. Implementasi SNP merupakan tanggungjawab direktorat terkait, dinas pendidikan, dan satuan pendidikan. Pengukuran pencapaian SNP merupakan kewenangan Badan Akreditasi Nasional.

Selain itu, akreditasi berorientasi pada kesesuaian (compliance), kinerja (performance), akutanbilitas publik (public accountability) dan peningkatan berkelanjutan (continues improvement). Esensinya pengukuran pencapaian SNP dilakukan dengan berorientasi pada peningkatan ‘proses belajar mengajar’ di satuan pendidikan. Jika akreditasi sudah mengukur kinerja, sudah pasti  kesesuaian sudah dipenuhi.

Langkah awal yang mesti dilakukan untuk menyelaraskan antara SNP dan akreditasi memetakan ruh dan aspek esensial dari delapan SNP, mulai dari standar kompetensi lulusan sampai ke standar pembiayaan. Kriteria di dalam SNP mesti dibuktikan dengan bukti empiris di satuan pendidikan. Sebagai contoh, dalam standar pengelolaan disebutkan salah satu prinsip pengelolaan adalah akuntabilitas dan transparansi dalam mengelola keuangan. Bukti empiris dari pencapaian prinsip tersebut adalah laporan keuangan di satuan pendidikan mesti diaudit oleh auditor yang berwewenang.

Secara terpisah Totok Suprayitno Kepala Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyambut baik upaya BSNP dan BAN S/M serta BAN PAUD PNF untuk melakukan penyelarasan antara SNP dan perangkat akreditasi.

“Pertemuan seperti ini perlu kita tumbuhkan terus supaya persepsi dan pemahaman kita sama terhadap standar nasional pendidikan. Dari pertemuan ini pula kita bisa membangun kesadaran bahwa kita memiliki problem dengan pendidikan, tapi juga menawarkan solusi”, ucap Totok.

Langkah selanjutnya, tambah Kepala Balitbang, kita perlu menggerakkan kelompok masyarakat untuk membangun kesadaran tentang pentingnya pembelajaran. Kesadaran tentang pentingnya SNP, akreditasi, dan asesmen. Dengan demikian, implementasi SNP, pelaksanaan akreditasi dan asesmen mesti bermuara pada terjadinya pembelajaran yang berkualitas di satuan pendidikan.

Anggota BAN S/M Itje Chodijah telah lama menunggu forum seperti ini. “Saya sujud syukur ketika diminta mewaliki Ketua BAN S/M untuk hadir di BSNP, sebab saya menunggu forum sperti ini sudah cukup lama.  Kegalauan tentang kualitas pembelajaran ini sudah lama muncul”, ucap Itje yang pernah mengelola Global Islamic School di Condet dan Serpong.

Dari forum ini, tambah Itje, ada titik terang di depan apa yang harus kita kerjakan bersama. Sebagai badan independen, kita bisa mengambil kebijakan yang tepat. Yang lebih penting lagi, apa yang kita lakukan adalah “to place learning at the center”. Maka yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana penguatan kepada para kepala sekolah dan pengawas supaya apa yang mereka lakukan juga menuju peningkatan pembelajaran. Penguatan kepala sekolah dan pengawas selama ini kurang mendapat perhatian. Dampaknya pemahaman mereka terhadap standar masih belum mendalam.

Terkait dengan pentingnya akreditasi, Itje menegaskan akreditasi merupakan salah satu upaya mencapai titik standar tertentu agar sekolah berjalan menuju kepada sebuah makna (kualitas), bukan sebuah punishment. Belum tentu sekolah dengan akreditasi A sudah membelajarkan anak-anak. Oleh karena itu apa yang kita kerjakan di BSNP dan BAN harus ada impak terhadap penguatan pembelajaran di sekolah.

Irma Yuliantina Sekretaris  BAN PAUD PNF menyadari betul  bahwa menurunkan kriteria dalam SNP ke dalam perangkat akreditasi bukan hal yang mudah. Selama ini, instrumen akreditasi yang dipakai belum sepenuhnya menyasar kriteria yang ada di dalam standar.  Dengan demikian, penyesuaian terhadap instrument akreditasi PAUD dan PNF perlu segera dilakukan.

Permasalahan lain Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, selama ini memberikan pembinaan sifatnya hanya pada kesesuaian (compliance)  saja. BAN PAUD PNF menemukan hasil akreditasi di satu kabupaten sama semua, padahal, seharusnya tidak sama.
Share:

Sosialisasi Ujian Nasional 2019

Ujian Nasional (UN) kembali akan diselenggarakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2019. BSNP telah menetapkan POS penyelenggaraan UN pada tanggal 29 November 2018. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan sosialisasi kebijakan UN pada hari Jumat, 21 Desember 2018. Acara ini diikuti oleh kepala dinas pendidikan provinsi, ketua pelaksana UN tingkat provinsi, perwakilan dari direktorat terkait di Kemendikbud dan Kementerian Agama. Melalui sosialisasi ini diharapkan ada pemahaman dan kesamaan pengertian di kalangan panitia pelaksana UN, terkait dengan persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi UN 2019.

Totok Suprayitno Kepala Balitbang dalam kapasitasnya mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pesan beliau supaya UN tahun pelajaran 2018/2019 dilaksanakan dengan baik dan penuh integritas. Totok juga mengatakan bahwa pemanfaatan hasil UN untuk perbaikan proses pembelajaran masih belum optimal.

“Penilaian tidak cukup untuk meningkatkan pembelajaran jika tidak diikuti dengan adanya umpan balik terhadap hasil penilain yang dilakukan oleh guru. Pemerintah tidak cukup menyelenggarakan UN setiap tahun, demikian juga guru tidak cukup melaksanakan ulangan setiap hari, jika tidak ada usaha untuk perbaikan proses pembelajaran”, ucap Totok.

Hamid Muhammad Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan pentingnya penerapan prinsip berbasi sumber (resource sharing) untuk perluasan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).  Pelaksanaan berbagi sumber dapat dilakukan antar jenjang (SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK) atau antar jalur pada pendidikan formal dan nonformal.

Lebih lanjut Hamid Muhammad menekankan supaya dalam melakukan prinsip berbagi sumber tidak terjadi transaksional yang memberatkan peserta UN. “Saya mohon supaya Dinas Pendidikan mengawal penerapan prinsip berbagi sumber ini, sehingga tidak ada praktik penarikan biaya yang memberatkan peserta didik atau satuan pendidikan”, pesan Dirjen seraya menambahkan target pelaksanaan UNBK untuk  SMK dan SMA adalah 100 persen, sedangkan untuk SMP 85 persen.

Sementara itu Harris Iskandar Direktur Jenderal PAUD dan DIKMAS mengatakan pelaksanaan UNBK untuk pendidikan kesetaraan program paket C dan paket B telah mencapai 97 persen pada tahun 2018. Target pelaksanaan UNBK pada tahun 2019 seratus persen. “Target ini bisa dicapai jika penerapan prinsip berbagi sumber dioptimalkan dengan menggunakan infrastuktur yang dimiliki sekolah formal”, ucap Harris.

Terkait dengan UN yang tidak lagi  menentukan kelulusan, Harris mengatakan bahwa UN bagi peserta didik pada pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai ujian penyetaraan. “UN tidak menentukan kelulusan, tetapi berfungsi sebagai ujian penyetaraan”. Oleh karena itu, jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN untuk pendidikan kesetaraan lebih banyak daripada mata pelajaran yang diujikan ada pendidikan formal.

Bambang Suryadi Ketua BSNP menyampaikan bahwa pelaksanaan UN pada tahun 2019 dimulai pada akhir Maret, yaitu tanggal 25-28 Maret untuk SMK/MAK. UN SMA/MA dilaksanakan pada tanggal 1,2,4, dan 8 April 2019. UN Program Paket C/Ulya  dilaksanakan pada tanggal 12-16 April 2019. Sedangkan UN SMP/MTs dilaksanakan pada tanggal 22-25 April 2019 dan UN Program Paket B/Wustha dilaksanakan pada tanggal 4, 5 dan 12 Mei 2019.

Bambang juga mengatakan meskipun moda UNBK telah menjadi moda utama dalam pelaksanaan UN,   karena keterbatasan infrastruktur, masih ada UN Berbasis Kertas dan Pensil (UNKP), namun jumlahnya relatif sedikit. Seluruh proses pelaksanaan UNKP menjadi tanggung jawab LPMP.

“LPMP bertanggungjawab secara keseluruhan terhadap pelaksanaan UNKP, mulai dari penyiapan bahan sampai ke pemindaian”, ucap Bambang seraya menambahkan hal ini dilakukan sebagai bentuk pemberdayaan LPMP untuk menjadi testing center di masa depan. (BS)
Share:

Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

A. Awal Kemerdekaan (1945-1950)

Pada prakemerdekaan pendidikan bukan untuk mencerdaskan kaum pribumi, melainkan lebih pada kepentingan kolonial penjajah. Pada bagian ini, semangat menggeloraan ke-Indonesia-an begitu kental sebagai bagian dari membangun identitas diri sebagai bangsa merdeka. Karena itu tidaklah berlebihan jika instruksi menteri saat itu pun berkait dengan upaya memompa semangat perjuangan dengan mewajibkan bagi sekolah untuk mengibarkan sang merah putih setiap hari di halaman sekolah, menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga menghapuskan nyanyian Jepang Kimigayo.

Organisasi kementerian yang saat itu masih bernama Kementerian Pengajaran pun masih sangat sederhana. Tapi kesadaran untuk menyiapkan kurikulum sudah dilakukan. Menteri Pengajaran yang pertama dalam sejarah Republik Indonesia adalah Ki Hadjar Dewantara. Pada Kabinet Syahrir I, Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Mulia. Mr. Mulia melakukan berbagai langkah seperti meneruskan kebijakan menteri sebelumnya di bidang kurikulum berwawasan kebangsaan, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, serta menambah jumlah pengajar.

Pada Kabinet Syahrir II, Menteri Pengajaran dijabat Muhammad Sjafei sampai tanggal 2 Oktober 1946. Selanjutnya Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Soewandi hingga 27 Juni 1947. Pada era kepemimpinan Mr. Soewandi ini terbentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai Ki Hadjar Dewantara. Panitia ini bertujuan meletakkan dasar-dasar dan susunan pengajaran baru.

B. Era Demokrasi Liberal (1951-1959)

Dapat dikatakan pada masa ini stabilitas politik menjadi sesuatu yang langka, demikian halnya dengan program yang bisa dijadikan tonggak, tidak bisa dideskripsikan dengan baik. Selama masa demokrasi liberal, sekitar sembilan tahun, telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet. Kabinet Natsir yang terbentuk tanggal 6 September 1950, menunjuk Dr. Bahder Johan sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K). Mulai bulan April 1951 Kabinet Natsir digantikan Kabinet Sukiman yang menunjuk Mr. Wongsonegoro sebagai Menteri PP dan K. Selanjutnya Dr. Bahder Johan menjabat Menteri PP dan K sekali lagi, kemudian digantikan Mr. Mohammad Yamin, RM. Soewandi, Ki Sarino Mangunpranoto, dan Prof. Dr. Prijono.

Pada periode ini, kebijakan pendidikan merupakan kelanjutan kebijakan menteri periode sebelumnya. Yang menonjol pada era ini adalah lahirnya payung hukum legal formal di bidang pendidikan yaitu UU Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950.

C. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri era demokrasi parlementer, digantikan era demokrasi terpimpin. Di era demokrasi terpimpin banyak ujian yang menimpa bangsa Indonesia. Konfrontasi dengan Belanda dalam masalah Irian Barat, sampai peristiwa G30S/PKI menjadi ujian berat bagi bangsa Indonesia.

Dalam Kabinet Kerja I, 10 Juli 1959 – 18 Februari 1960, status kementerian diubah menjadi menteri muda. Kementerian yang mengurusi pendidikan dibagi menjadi tiga menteri muda. Menteri Muda Bidang Sosial Kulturil dipegang Dr. Prijono, Menteri Muda PP dan K dipegang Sudibjo, dan Menteri Muda Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat dipegang Sujono.

D. Era Orde Baru (1966-1998)

Setelah Pemberontakan G30S/PKI berhasil dipadamkan, terjadilah peralihan dari demokrasi terpimpin ke demokrasi Pancasila. Era tersebut dikenal dengan nama Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Kebijakan di bidang pendidikan di era Orde Baru cukup banyak dan beragam mengingat orde ini memegang kekuasaan cukup lama yaitu 32 tahun. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kewajiban penataran P4 bagi peserta didik, normalisasi kehidupan kampus, bina siswa melalui OSIS, ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan atau EYD, kuliah kerja nyata (KKN) bagi mahasiswa, merintis sekolah pembangunan, dan lain-lain. Pada era ini tepatnya tahun 1978 tahun ajaran baru digeser ke bulan Juni. Pembangunan infrastruktur pendidikan juga berkembang pesat pada era Orde Baru tersebut.

Menteri pendidikan dan kebudayaan di era Orde Baru antara lain Dr. Daud Joesoef, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Faud Hassan, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, dan Prof. Dr. Wiranto Aris Munandar

E. Era Reformasi (1998-2011)

Setelah berjaya memenangkan enam kali Pemilu, Orde Baru pada akhirnya sampai pada akhir perjalanannya. Pada tahun 1998 Indonesia diterpa krisis politik dan ekonomi. Demonstrasi besar-besaran di tahun tersebut berhasil memaksa Presiden Soeharto meletakkan jabatannya. Kabinet pertama di era reformasi adalah kabinet hasil Pemilu 1999 yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid. Pada masa ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional dengan menunjuk Dr. Yahya Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2001 MPR menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam sidang istimewa MPR dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Di era pemerintahan Presiden Megawati, Mendiknas dijabat Prof. Drs. A. Malik Fadjar, M.Sc. Pemilihan Umum 2004 dan 2009 rakyat Indonesia memilih presiden secara langsung. Pada dua pemilu tersebut Susilo Bambang Yudhoyono berhasil terpilih menjadi presiden. Selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mendiknas dijabat Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. Dan Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh.

Pada tahun 2011 istilah departemen diganti menjadi kementerian dan pada tahun 2012 bidang pendidikan dan kebudayaan disatukan kembali menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan pendidikan di era reformasi antara lain perubahan IKIP menjadi universitas, reformasi undang-undang pendidikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Ujian Nasional (UN), sertifikasi guru dan dosen, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pendidikan karakter, dan lain-lain.
Share:

Recent Posts

Arsip Blog